BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Pada remaja saat ini, merokok merupakan suatu
pemandangan yang sangat tidak asing. Kebiasaan merokok dianggap dapat
memberikan kenikmatan bagi perokok, namun di lain pihak dapat menimbulkan
dampak buruk bagi perokok sendiri maupun orang-orang disekitarnya. Berbagai
kandungan zat yang terdapat di dalam rokok memberikan dampak negatif pada tubuh
penghisapnya. Beberapa motivasi yang melatar belakangi merokok adalah untuk
mendapat pengakuan (anticipatory beliefs) untuk menghilangkan kekecewaan
(reliefing beliefs) dan menganggap perbuatannya tersebut tidak melanggar
norma (permission beliefs/positive) (Joemana, 2004). Hal ini sejalan
dengan kegiatan merokok yang dilakukan oleh remaja yang biasanya dilakukan di
depan orang lain, terutama dilakukan di depan kelompoknya karena mereka sangat
tertatik kepada kelompok sebayanya atau dengan kata lain terikat dengan
kelompoknya.
Masa remaja bisa jadi masa di mana individu mengkonsumsi rokok. Smet
(1994) berpendapat bahwa usia pertama kali merokok umumnya berkisar antara usia
11-13 tahun dan mereka pada umumnya merokok sebelum usia 18 tahun. Usia
tersebut dapat dikategorikan termasuk dalam rentangan masa remaja. Lebih jauh
lagi Data WHO mempertegas bahwa remaja memiliki kecenderungan yang tinggi untuk
merokok, data WHO menunjukkan bahwa dari seluruh jumlah perokok yang ada di
dunia sebanyak 30% adalah kaum remaja (Republika, 1988).
Terdapat banyak alasan yang melatarbelakangi remaja untuk merokok.
Secara umum berdasarkan kajian Kurt Lewin, merokok merupakan fungsi dari
lingkungan dan individu. Artinya, perilaku merokok selain disebabkan dari
faktor lingkungan juga disebabkan oleh faktor diri atau kepribadian.
Faktor dalam diri remaja dapat dilihat dari kajian perkemangan remaja.
Remaja mulai merokok dikatakan oleh Erikson (Gatchel, 1989) berkaitan dengan
adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada masa perkembangannya yaitu
masa ketika mencari jati diri. Dalam masa remaja ini sering terjadi
ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan perkembangan sosial. Upaya-upaya
untuk menemukan jati diri tersebut tidak selalu dapat berjalan sesuai dengan
harapan masyarakat. Beberapa remaja melakukan perilaku merokok sebagai cara
kompensatoris. Seperti yang dikatakan oleh Brigham (1991) yang dikutip oleh
Helmi, bahwasanya perilaku merokok bagi remaja merupakan perilaku simbolisasi.
Symbol dari kematangan, kekuatan, kepemimpinan, dan daya tarik terhadap lawan
jenis.
Merokok bagi sebagian remaja merupakan perilaku proyeksi dari rasa sakit
baik psikis maupun fsik. Walaupun di sisi lain, saat pertama kali mengkonsumsi
rokok dirasakan ketidakenakkan. Hal ini sejalan dengan perkataan Helmi yang
berpendapat bahwa saat pertama kali mengkonsumsi rokok, kebanyakan remaja
mungkin mengalami gejala-gejala batuk, lidah terasa getir, dan perut mual.
Namun demikian, sebagian dari para pemula tersebut mengabaikan pengalaman
perasaan tersebut, biasanya berlanjut menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi
ketergantungan. Ketergantungan ini dipersepsikan sebagai kenikmatan yang
memberikan kepuasan psikologis. Sehingga tidak jarang perokok mendapatkan
kenikmatan yang dapat menghilangkan ketidaknyamanan yang sedang dialaminya.
Gejala ini apat djelaskan dari konsep tobacco dependency (ketergantungan
rokok). Artinya, perilaku merokok meruakan perilaku menyenangkan dan dapat
menghilangkan ketidaknyamanan dan bergeser menjadi aktivitas yang bersifat
obsesif. Hal ini disebabkan sifat nikotin aalah adiktif dan anti-depressan,
jika dihentikan tiba-tiba akan menimbulkan stress.
Secara manusiawi, orang cenderung untuk menghindari ketidakseimbangan
dan lebih senang mempertahankan apa yang selama ini dirasakan sebagai
kenikmatan sehingga dapat dipahami apabila para perokok sulit untuk behenti
merokok. Klinke & Meeker (dalam Aritonang, 1997) mengatakan bahwa motif
para perokok adalah relaksasi. Dengan merokok dapat mengurangi ketegangan,
memudahkan berkonsentrasi, pengalaman yang menyenangkan dan relaksasi.
Seperti yang diungkapkan Levethal & Clearly dalam Cahyani dan
dikutip kembali oleh Helmi bahwasanya terdapat empat tahap dalam perilaku
merokok sehingga menjadi perokok, yaitu:
- Tahap
Preparatory. Seseorang yang mendapatkan gambaran yang menyenangkan
mengenai merokok dengan cara mendengar, melihat, atau dari hasil bacaan.
Hal-hal ini menimbulkan minat untuk merokok.
- Tahap
Initiation. Tahap perintisan merokok yaitu tahap seseorang meneruskan
untuk tetap mencoba-coba merokok.
- Tahap becoming
smoker. Apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebnayak empat
batang perhari maka seseorang tersebut mempunyai kecenderungan menjadi
perokok.
- Tahap maintenance
of smoking. Tahap ini merokok sudah menjadi salah satu bagian dari
cara pegaturan diri (self regulating). Merokok dilakukan untuk
memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan.
Selain faktor perkembangan remaja dan kepuasan psikologis, masih banyak
faktor dari luar individu yang berpengaruh pada proses pembentukkan perilaku
merokok. Pada dasarnya perilaku merokok adalah perilaku yang dipelajari. Hal
itu berarti terdapat pihak-pihak yang berpengaruh besar dalam proses
sosialisasi.
Konsep sosialisai pertama berkembang dari Sosiologi dan dan Psikologi
Sosial merupakan suatu proses transmisi nilai-nilai, sistem belief, sikap
ataupun perilaku-perilakunya dari generasi sebelumnya kepada generasi
berikutnya (Durkin dalam Helmi). Adapun tujuan sosialisasi ini adalah agar
generasi berikutnya mempunyai sistem nilai yang sesuai dengan tututan norma
yang diinginkan kelompok, sehingga individu dapat diterima dalam kelompok.
Dalam kaitannya dengan perilaku merokok, pada dasarnya hamper tidak ada orang
tua yang menginginkan anaknya untuk menjadi perokok, bahkan masyarakat tidak
menuntut anggota masyarakat untuk menjadi perokok, namun demikian dalam kaitan
ini secara tidak sadar, ada beberapa agen yang merupakan model dan penguat bagi
perokok remaja.
Agen sosialisasi perilaku merokok pada remaja dapat merupakan orang tua
maupun teman sebaya. Dengan merujuk konsep transmisi perilaku, bahwa pada
dasarnya perilaku dapat ditransmisikan melalui transmisi vertical dan
horizontal (Berry dkk, 1992). Transmisi vertical dapat dilakukan oleh orang tua
dan transmisi horizontal dilakukan oleh teman sebaya.
Namun bagaimanapun latarbelakang remaja melakukan perilaku mengkonsumsi
merokok tetap saja merokok sebagai salah satu bentuk adiksi yang harus
dieliminir. Dalam hal ini remaja di sekolah merupakan subjek layanan profesi
bimbingan dan konseling yang harus segera diberi bantuan. Kendatipun perilaku
merokok pada remaja dilatarbelakangi lingkungan dan keprbadian, tetapi fokus
bantuan konseling yang memandirikan adalah membantu individu untuk memiliki
kepribadian sehat dan interdependen terhadap lingkungan.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis
menyimpulkan rumusan masalah sebagai
berikut :
1.1.1
Apa itu merokok?
1.1.2
Apa saja faktor-faktor
yang mempengaruhi remaja merokok?
Apa saja Tipe-tipe
perokok yang ada
BAB 2
PEMBAHASAN
Perilaku Merokok pada Remaja
Merokok merupakan overt behavior dimana perokok
menghisap gulungan tembakau. Hal ini seperti dituliskan dalam KBBI merokok
adalah menghisap gulungan tembakau yang dibungkus dengan kertas (Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1990: 752). Lebih jauh lagi Poerwadarminta dalam Kemala
(2007: 9) mendefinisikan merokok sebagai menghisap rokok, dan rokok
didefinisikan sebagai gulungan tembakau yang berbalut daun nipah atau kertas. Fakhrurrozi mengidentifikasi merokok
sebagai overt behavior karena merokok merupakan perilaku yang nampak. Sebagai
overt behavior merokok merupakan perilaku yang dapat terlihat karena ketika
merokok individu melakukan suatu kegiatan yang nampak yaitu menghisap asap
rokok yang dibakar ke dalam tubuh, hal ini senada dengan pendapat Armstrong
dalam Kemala (2007: 10) merokok adalah menghisap asap tembakau yang dibakar ke
dalam tubuh dan menghembuskannya kembali keluar.
Merokok merupakan kegiatan yang
meyebabkan efek kenyamanan. Rokok memiliki antidepressant yang
menimbulkan efek kenyamanan pada perokok. Walaupun perilaku merokok merupakan
perilaku yang berbahaya bagi kesehatan karena terdapat sekitar 4000 racun dalam
sebatang rokok.
Merokok sebagai gangguan obsesif
kompulsif. orang yang mengalami gangguan ini memiliki obsesi atau
kompulsi yang menetap. Obsesi adalah pikiran, ide atau citra yang terus menerus
berulang secara tidak terkendali dan mendominasi kesadaran seseorang. Kompulis
adalah dorongan untuk melakukan tindakan stereotip dengan tujuan yang umumnya
tidak realistik yaitu menghilangkan sistuasi yang menimbulkan ketakutan. Upaya
untuk menolak kompulsi menimbulkan ketegangan yang sangat besar sehingga
individu biasanya menyerah dan melakukannya.
Merokok sebagai ganggguan kesehatan
dan jiwa. Merokok berkaitan erat dengan disabilitas dan penurunan kualitas
hidup. Dalam sebuah penelitian di Jerman sejak tahun 1997-1999 yang melibatkan
4.181 responden, disimpulkan bahwa responden yang memilki ketergantungan
nikotin memiliki kualitas hidup yang lebih buruk, dan hampir 50% dari responden
perokok memiliki setidaknya satu jenis gangguan kejiwaan. Selain itu diketahui
pula bahwa pasien gangguan jiwa cenderung lebih sering menjadi perokok, yaitu
pada 50% penderita gangguan jiwa, 70% pasien maniakal yang berobat rawat jalan
dan 90% dari pasien-pasien skizrofen yang berobat jalan (Pikiran Rakyat).
Perilaku merokok dipengaruhi perasaan
negative. Menurut Silvan & Tomkins (Muta’din: 2002) banyak orang yang
merokok untuk perasaan negative dalam dirinya. Misalnya merokok bila marah,
cemas, gelisah, rokok dianggap sebagai penyelamat. Mereka menggunakan rokok
bila perasaan tidak enak terjadi, sehingga terhindar dari perasan yang tidak
enak.
Perilaku merokok pada remaja
merupakan perilaku transmisif. Dari penelitian Helmi dan Komalasari (2000)
didapatkan kesimpulan bahwa perilaku merokok merupaka perilaku yang dipelajari
dan ditularkan melalui aktivitas teman sebaya dan perilaku permisif orang tua.
Perilaku merokok didorong oleh
nilai-nilai dalam diri remaja. Beberapa motivasi yang melatar belakangi merokok
adalah untuk mendapat pengakuan (anticipatory beliefs) untuk
menghilangkan kekecewaan (reliefing beliefs) dan menganggap
perbuatannya tersebut tidak melanggar norma (permission beliefs/positive)
(Joemana, 2004).
Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku
merokok pada remaja adalah kegiatan kompulsif dengan menghisap asap yang
berasal dari gulungan tembakau yang dibakar untuk mendapatkan kepuasan
fisiologis dan sosiologis dan juga upaya eliminasi perasaan negative yang ada
dalam diri remaja yang banyak dipelajari dari lingkungan teman sebaya dan
didorong oleh keinginan mendapat pengakuan (anticipatory beliefs)
untuk menghilangkan kekecewaan (reliefing beliefs) dan menganggap
perbuatannya tersebut tidak melanggar norma (permission beliefs/positive).
Penyebab Perilaku
Merokok Pada Remaja
Terdapat banyak
faktor yang mempengaruhi seseorang untuk merokok. Hansen dalam Kemala (2008)
berpendapat bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku merokok yaitu: Faktor
biologis, faktor psiklogis, faktor lingkungan sosial, faktor demografis, faktor
sosial-kultural,faktor sosial politik. Namun pada remaja yang paling
mempengaruhi perilaku merokok adalah:
Pengaruh Orang Tua
Kebanyakan
remaja yang merokok itu disebabkan karena kurang nya perhatian dan
pengawasandari orang tua yang menyebabkan sang anak melakukan apapun yang
mereka suka tanpa ada yang melarangnya.
Pengaruh Teman
Teman juga
memberikan pengaruh besar terhadap remaja-remaja yang merokok , banyak awal nya
remaja yang tidak merokok tetapi terhasut oleh omongan temannya yang mengajak
mereka merokok karena mereka takut dijauhi oleh teman-temannya tersebut.
Pengaruh Kepribadian
Proyeksi
Remaja merokok
karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau
jiwa membebaskan diri dari kebosanan. Menurut Teddy Hidayat, (Pikiran Rakyat:
2007) remaja yang berisiko tinggi adalah remaja-remaja yang memiliki sifat
pemuasaan segera, kurang mampu menunda keinginan, merasa kosong dan mudah
bosan, mudah cemas, gelisah, dan depresif. Hal ini diperkuat dengan hasil
penelitian dari CASA (Columbian University`s National Center On Addiction and
Substance Abuse), remaja perokok memiliki risiko dua kali lipat mengalami
gejala-gejala depresi dibandingkan remaja yang tidak merokok. Para perokok
aktif pun tampaknya lebih sering mengalami serangan panik dari pada mereka yang
tidak merokok Banyak penelitian yang membuktikan bahwa merokok dan depresi
merupakan suatu hubungan yang saling berkaitan. Depresi menyebabkan seseorang
merokok dan para perokok biasanya memiliki gejala-gejala depresi dan kecemasan
(ansietas).
Rasa keingintahuan
Rasa keingintahuan
juga merupakan penyebab banyaknya remaja yang merokok , awalnya mereka hanya
ingin tahu rasanya tetapi karena rokok ini mempunyai zat-zat yang membuat
ketergantungan yang akan membuat mereka malanjutkan merokok.
Kompensasi
rasa kurang percaya diri
Rasa kurang percaya
diri pada remaja dimanifestasikan dengan berbagai cara baik dengan cara positif
maupun negatif. Cara yang positif untuk membangun rasa percaya diri yaitu
dengan menciptakan definisi diri positif, memperjuangkan keinginan yang
positif, mengatasi masalah secara positif, memiliki dasar keputusan yang
positif. Sedangkan cara yang negatif untuk membangun rasa percaya diri yaitu sulit
menerima realita diri (terlebih menerima kekurangan diri) dan memandang rendah
kemampuan diri sendiri namun di lain pihak memasang harapan yang tidak
realistik terhadap diri sendiri. Cenderung melakukan tindakan negatif yaitu
dengan merokok, sehingga dengan menggunakan zat tersebut remaja cenderung lebih
merasa percaya diri (Jacinta, 2002). Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian
Haryono (2007) bahwasanya Terdapat korelasi antara Ketergantungan Merokok
dengan Percaya Diri , Artinya semakin tinggi tingkat ketergantungan merokok,
maka semakin rendah tingkat percaya diri.
Tipe-tipe
Perokok
Mereka yang
dikatakan perokok sangat berat adalah bila mengkonsumsi rokok lebih dari 31 batang perhari dan selang
merokoknya lima menit setelah bangun pagi. Perokok berat merokok sekitar 21-30
batang sehari dengan selang waktu sejak bangun pagi berkisar antara 6 – 30
menit. Perokok sedang menghabiskan rokok 11 – 21 batang dengan selang waktu
31-60 menit setelah bangun pagi. Perokok ringan menghabiskan rokok sekitar 10 batang
dengan selang waktu 60 menit dari bangun pagi.
Menurut Silvan Tomkins (dalam Al
Bachri,1991) ada 4 tipe perilaku merokok berdasarkan Management of affect
theory, ke empat tipe tersebut adalah :
Tipe perokok yang dipengaruhi oleh
perasaan positif. Dengan merokok seseorang merasakan penambahan rasa yang
positif. Green (dalam Psychological Factor in Smoking, 1978) menambahkan ada 3
sub tipe ini :
Pleasure relaxation, perilaku merokok
hanya untuk menambah atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya
merokok setelah minum kopi atau makan.
Stimulation to pick them up. Perilaku merokok hanya dilakukan sekedarnya untuk
menyenangkan perasaan.
Pleasure of handling the cigarette. Kenikmatan yang diperoleh dengan memegang
rokok. Sangat spesifik pada perokok pipa. Perokok pipa akan menghabiskan waktu
untuk mengisi pipa dengan tembakau sedangkan untuk menghisapnya hanya
dibutuhkan waktu beberapa menit saja. Atau perokok lebih senang berlama-lama
untuk memainkan rokoknya dengan jari-jarinya lama sebelum ia nyalakan dengan
api.
Perilaku merokok yang dipengaruhi
oleh perasaan negatif. Banyak orang yang menggunakan rokok untuk mengurangi
perasaan negatif, misalnya bila ia marah, cemas, gelisah, rokok dianggap
sebagai penyelamat. Mereka menggunakan rokok bila perasaan tidak enak terjadi,
sehingga terhindar dari perasaan yang lebih tidak enak.
Perilaku merokok yang adiktif. Oleh
Green disebut sebagai psychological Addiction. Mereka yang sudah adiksi, akan
menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang
dihisapnya berkurang. Mereka umumnya akan pergi keluar rumah membeli rokok,
walau tengah malam sekalipun, karena ia khawatir kalau rokok tidak tersedia
setiap saat ia menginginkannya.
Perilaku merokok yang sudah menjadi
kebiasaan. Mereka menggunakan rokok sama sekali bukan karena untuk
mengendalikan perasaan mereka, tetapi karena benar-benar sudah menjadi
kebiasaannya rutin. Dapat dikatakan pada orang-orang tipe ini merokok sudah
merupakan suatu perilaku yang bersifat otomatis, seringkali tanpa dipikirkan
dan tanpa disadari. Ia menghidupkan api rokoknya bila rokok yang
terdahulu telah benar-benar habis.
Tempat merokok juga mencerminkan pola
perilaku perokok. Berdasarkan tempat-tempat dimana seseorang menghisap rokok,
maka dapat digolongkan atas :
Merokok di tempat-tempat Umum / Ruang
Publik:
Kelompok homogen (sama-sama perokok),
secara bergerombol mereka menikmati kebiasaannya. Umumnya mereka masih
menghargai orang lain, karena itu mereka menempatkan diri di smoking area.
Kelompok yang heterogen (merokok ditengah orang-orang lain yang tidak merokok,
anak kecil, orang jompo, orang sakit, dll). Mereka yang berani merokok ditempat
tersebut, tergolong sebagai orang yang tidak berperasaan, kurang etis dan tidak
mempunyai tata krama. Bertindak kurang terpuji dan kurang sopan, dan secara
tersamar mereka tega menyebar “racun” kepada orang lain yang tidak bersalah.
Merokok di tempat-tempat yang
bersifat pribadi:
Di kantor atau di kamar tidur
pribadi. Mereka yang memilih tempat-tempat seperti ini sebagai tempat merokok
digolongkan kepada individu yang kurang menjaga kebersihan diri, penuh dengan
rasa gelisah yang mencekam.
Di toilet. Perokok jenis ini dapat digolongkan sebagai orang yang suka
berfantasi
BAB
3
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan uraian dari makalah, maka
penulis menyimpulkan :
1. Faktor yang mempengaruhi remaja merokok itu adalah
kurang nya perhatian orang tua , pertemanan , rasa keingintahuan , dan adanya
persepsi bahwa rokok itu dapat meningkatkan percaya diri
2. Merokok itu adalah perilaku overt behavior menghisap
gulungan tembakau yang dibalut kertas
Dalam sebatang rokok itu terdapat lebih kurang 4000
racun
3. Merokok itu memang dapat memberikan kenyaman karena
ada nya antidepressant tetapi tak
sebanding dengan racun yang di kandung nya.
4. Persepsi tentang merokok itu dapat meningkatkan
percaya diri itu salah karena semakin tinggi tingkat ketergantungan rokok maka
semakin rendah tingkat percaya diri.